Ketika berbicara tentang tekstil tradisional Indonesia, nama batik atau songket mungkin lebih familiar di telinga. Namun, di Sumatra Selatan terdapat sebuah kain langka bernama Palepai. Kain kapal ini memiliki motif utama berupa gambar kapal yang melambangkan perjalanan hidup manusia sekaligus status sosial masyarakat Lampung. Tulisan ini akan membahas asal-usul Palepai, makna filosofis di balik motifnya, serta upaya pelestariannya sebagai salah satu warisan budaya maritim Nusantara.
Daftar isi
Apa Itu Palepai?
Palepai adalah kain upacara tradisional dari Lampung, khususnya di wilayah Pesisir Selatan. Istilah lain yang dikenal adalah sesai balak yang berarti “kain besar untuk dinding”. Sesuai namanya, kain ini biasanya digantung di dinding rumah adat saat prosesi pernikahan, kelahiran, sunatan, hingga kematian.
Keunikan kain ini terletak pada motif kapal besar yang mendominasi permukaannya. Karena itu, ia sering dijuluki ship cloth. Gambar kapal tersebut bukan hanya hiasan, melainkan simbol perjalanan hidup manusia dari satu fase ke fase lain, dari dunia fana menuju alam baka.
Sejarah Palepai di Lampung
Akar Maritim Sumatra Selatan
Sejarah tak bisa dipisahkan dari identitas maritim masyarakat Lampung. Sebagai wilayah pesisir, Lampung sejak dahulu terhubung dengan jalur perdagangan internasional di Selat Sunda. Kapal bukan hanya sarana transportasi, tetapi juga simbol status dan spiritualitas.
Awal pembuatannya diperkirakan berlangsung sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Karena hanya keluarga bangsawan (penyimbang) yang berhak memilikinya, jumlah kain kapal ini sangat terbatas. Kini, karya tekstil langka tersebut hanya bisa ditemukan di museum dan koleksi pribadi.
Fungsi dalam Adat
Dalam masyarakat Lampung Pesisir, kain upacara ini menjadi tanda kehormatan. Saat pernikahan bangsawan, kain tersebut digantung di dinding balai adat sebagai lambang perjalanan baru. Pada upacara kematian, ia melambangkan perahu jiwa yang membawa arwah menuju alam akhirat.
Dengan demikian, Sejarah Kain Kapal Lampung erat kaitannya dengan kosmologi masyarakat Lampung: laut dan kapal sebagai metafora kehidupan.
Filosofi Motif Kapal
Motif utama Palepai adalah kapal jiwa. Kapal ini biasanya digambarkan penuh ornamen: manusia, hewan mitologi, ikan, burung, hingga pohon kehidupan. Tiap unsur memiliki makna:
- Kapal → simbol perjalanan hidup dan status sosial.
- Manusia → anggota keluarga atau leluhur.
- Ikan & hewan laut → dunia bawah.
- Burung & pohon → dunia atas.
- Pola geometris → keseimbangan kosmos.
Dengan kombinasi tersebut, kain kapal ini menjadi representasi kosmos yang lengkap: dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah—sebuah filosofi yang juga dijumpai dalam budaya maritim Asia Tenggara lainnya.
Teknik Tenun Palepai
Proses pembuatan kain ini dilakukan dengan teknik supplementary weft weaving atau pakan tambahan. Benang kapas maupun sutra disusun rapat, lalu dipadukan dengan benang berpewarna alami untuk menghasilkan pola berbentuk kapal. Warna yang biasanya muncul adalah merah, cokelat, dan biru tua, kemudian diberi aksen emas atau kuning agar tampak lebih berwibawa.
Pembuatan kain kapal khas Lampung ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Karena sifatnya eksklusif dan tidak diproduksi massal, keberadaannya menjadi sangat langka di era modern.
Baca Juga: Jejak Maritim Kerajaan Sriwijaya dan Pengaruhnya di Asia Tenggara
Palepai dan Status Sosial
Dalam catatan sejarah, kain kapal khas Lampung ini merupakan simbol kebangsawanan. Tidak semua orang memiliki hak untuk memakainya. Hanya keluarga terpandang yang mampu menampilkan kain tersebut, dan kehadirannya menjadi penanda kedudukan tinggi dalam struktur adat.
Kain ini juga menjadi harta pusaka yang diwariskan turun-temurun. Nilainya bukan sekadar material, melainkan simbol kehormatan keluarga. Bahkan, ada pepatah adat Lampung yang menyebut: “Rumah tanpa Palepai bagai laut tanpa kapal”.
Palepai dalam Koleksi Dunia
Hari ini, sebagian besar Palepai asli tidak lagi berada di Lampung. Banyak kain kapal ini yang dibawa peneliti Belanda dan kolektor asing sejak abad ke-19. Koleksi Palepai kini bisa ditemukan di:
- Metropolitan Museum of Art, New York
- Asian Civilisations Museum, Singapura
- Museum Nasional Indonesia
- FAMSF (Fine Arts Museums of San Francisco)
Kain kapal khas Lampung yang kini tersimpan di museum dunia menunjukkan nilai artistik dan historisnya telah diakui secara internasional.
Tantangan Pelestarian
Sayangnya, sejarah juga menyimpan kisah kehilangan. Produksi Palepai berhenti sejak awal abad ke-20 karena beberapa faktor:
- Berkurangnya pohon kapas lokal dan pewarna alami.
- Perubahan sosial di masyarakat Lampung—bangsawan kehilangan peran dominan.
- Globalisasi tekstil yang menggantikan kain tradisional.
Kini, kain kapal tradisional ini dianggap sudah langka. Yang tersisa hanya berada di koleksi museum dan sebagian keluarga adat tertentu. Upaya pelestarian dilakukan melalui penelitian akademis, dokumentasi budaya, serta program digitalisasi.
Palepai dalam Konteks Maritim Nusantara
Menghubungkan sejarah tekstil Lampung dengan sejarah maritim Nusantara, jelas bahwa kapal adalah simbol yang sangat penting. Dari relief Borobudur hingga kain kapal tradisional, kapal digambarkan sebagai penghubung dunia.
Kain kapal khas Lampung menjadi media ekspresi pandangan kosmik masyarakat setempat. Motif kapal di dalamnya bukan sekadar melambangkan alat transportasi, tetapi digambarkan sebagai perahu jiwa yang membawa manusia melewati siklus kehidupan.
Lebih dari sekadar kain, warisan tekstil khas Lampung ini menjadi cerminan sejarah panjang yang berakar dalam pada identitas maritim Sumatra Selatan. Sebagai simbol perjalanan hidup, status sosial, dan budaya pesisir, kain tersebut menyimpan cerita mendalam tentang bagaimana masyarakat Nusantara memahami dunia.
Meski kini langka, kain kapal tradisional Lampung tetap relevan sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan. Melalui riset, pameran, dan publikasi, kita bisa memastikan karya tekstil ini tidak tenggelam dalam arus zaman, melainkan terus diingat sebagai salah satu mahakarya maritim Indonesia.
Baca Juga: Benteng Kuto Besak, Simbol Strategi Pertahanan Maritim Sriwijaya
Last modified: Agustus 20, 2025