Salah satu warisan budaya maritim Nusantara yang kaya dan penuh misteri adalah mutisalah. Kata “mutisalah” merujuk pada jenis manik-manik antik yang tidak hanya berfungsi sebagai perhiasan, tetapi juga mencerminkan sejarah perdagangan, stratifikasi sosial, dan nilai spiritual masyarakat di Sumatra serta Kepulauan Timor. Tulisan ini mengajak kita untuk mengenal mutisalah secara lebih mendalam: mulai dari asal-usul, klasifikasi, persebaran, fungsi budaya, hingga tantangan pelestariannya, serta bagaimana manik pusaka ini menjadi penghubung antara masa lalu maritim dan identitas budaya Indonesia.
Asal-Usul Mutisalah
Mutisalah adalah manik-manik tradisional yang dikenal sebagai manik pusaka di wilayah Timur Nusantara: Pulau Timor, Flores, Sumba, dan Savu.
Manik ini berasal dari jenis Indo-Pacific glass beads—manik kaca warna jingga kemerahan—yang produksinya sudah berlangsung sejak zaman Sriwijaya, terutama pada abad ke-9 hingga abad ke-13. Beberapa ahli menyebut bahwa manik-manik ini semula diimpor dari India Selatan, kemudian diproduksi juga di pusat-pusat pengrajin Nusantara, termasuk Sumatra.
Klasifikasi dan Ciri-Ciri Mutisalah
Dalam tradisi dan penelitian arkeologi, mutisalah dibagi menjadi dua kelas utama:
- Mutiraja: milik bangsawan atau kerabat istana. Warnanya lebih mengilap, ukuran kecil, nilai tinggi. Umumnya dipakai dalam upacara tertentu atau sebagai simbol status.
- Mutibatta / Mutitanah: kelas yang lebih umum. Ukurannya lebih besar, kilapnya lebih redup, digunakan oleh masyarakat biasa.
Ciri-ciri umum mutisalah antara lain:
- Warna jingga, oranye-merah, atau cokelat kemerahan.
- Terbuat dari kaca Indo-Pasifik (glass beads) yang ditarik atau dibentuk dengan teknik tradisional.
- Diameter kecil, ringan (tergantung kelas), dengan permukaan yang kadang halus dan mengkilap (kelas atas), atau agak buram dan lebih kasar (kelas umum).
Penyebaran dan Jalur Perdagangan
Salah satu hal menarik mengenal mutisalah adalah melihat penyebarannya:
- Mutisalah banyak ditemukan di Kepulauan Timor, juga Flores, Savu, Sumba.
- Di Sumatra Selatan dan Lampung juga ditemukan jenis mutisalah, terutama dalam konteks perdagangan antara pusat-pusat laut Sriwijaya dengan wilayah Timur Nusantara.
- Penelitian arkeologi menunjukkan manik-manik jenis mutisalah dominan di situs-situs pada abad ke-9 sampai ke-12 di daerah Asia Tenggara, termasuk di Kuala Selinsing, Pengkalan Bujang, dan pulau-pulau di timur.
Perdagangan mutisalah tidak hanya sebagai barang dekoratif tetapi juga sebagai barang prestige dan simbol kekayaan. Masyarakat saling tukar mutisalah sebagai bagian dari mas kawin, pemberian status sosial, atau asset keluarga yang diwariskan.
Fungsi Budaya dan Simbolis
Ketika mengenal mutisalah, kita harus memahami bahwa nilai mutisalah lebih dari keindahan:
- Simbol status: Mutiraja dipakai oleh bangsawan atau orang yang memiliki kedudukan tinggi. Dilarang disentuh oleh orang biasa di beberapa komunitas.
- Upacara adat: Digunakan dalam ritual perkawinan, sebagai bagian dari pakaian adat, atau hiasan dalam upacara penting lainnya.
- Warisan turun-temurun: Mutisalah disimpan sebagai pusaka. Nilai historis dan emosionalnya tinggi karena menjadi bagian dari identitas leluhur.
Bukti Arkeologis dan Penelitian Terkait
- Penggalian situs Palembang (pusat Sriwijaya) menemukan manik-manik kaca dari kampung-kampung dan situs lama yang mungkin termasuk jenis mutisalah.
- Studi di Situs Sungai Mas (Malaysia) dan Oc-Eo (Vietnam) menunjukkan bahwa mutisalah adalah jenis manik yang dominan di antara koleksi glass beads seperti dalam analisa warna dan proporsi.
- Penelitian compositional (komposisi material kaca) menunjukkan bahwa bahan pembuatannya memiliki jejak kimia yang bisa dihubungkan ke sumber tertentu, misalnya penggunaan alkali yang berbeda antara pusat produksi di India dan Nusantara.
Baca Juga: Maritim Majapahit, Perjalanan Kejayaan Kerajaan Nusantara
Tantangan Pelestarian & Keaslian
Mengenal mutisalah juga berarti sadar akan risiko dan tantangan:
- Replika & pemalsuan: Banyak mutisalah modern atau tiruan yang dibuat untuk koleksi atau komersialisasi. Sulit dibedakan terutama oleh awam.
- Kelangkaan bahan & keterampilan: Pengrajin tradisional asli makin sedikit, dan sumber bahan kaca atau kayu (untuk hiasan) tidak se-mudah dulu.
- Regulasi & pelestarian: Pentingnya perlindungan artefak bersejarah, katalogisasi, musealisasi agar mutisalah tetap diakui secara ilmiah dan budaya.
Mengapa Mutisalah Penting untuk Sejarah Maritim Sumatra dan Nusantara
- Mutisalah merefleksikan jaringan perdagangan maritim kuno yang menghubungkan Sumatra (Sriwijaya) dengan wilayah timur dan bahkan India. Ini bagian dari jejak laut Nusantara yang menunjukkan Sumatra bukan hanya penerima budaya tetapi pusat produksi dan distribusi.
- Manik-manik sejenis ini memperlihatkan hubungan sosial antar wilayah: pengaruh budaya, pertukaran barang, serta standar estetika di seluruh Nusantara.
- Sebagai artefak, mutisalah membantu arkeolog dan sejarawan merekonstruksi rute perdagangan, sifat interaksi antar suku dan kerajaan, serta evolusi ekonomi pra-kolonial.
Dengan pembahasan ini kita bisa lebih mengenal mutisalah sebagai salah satu warisan budaya maritim yang penting di Nusantara. Dari asal-usul yang terkait dengan Era Sriwijaya, klasifikasi antara kelas bangsawan dan rakyat, penyebarannya di Sumatra dan Kepulauan Timor, hingga fungsinya dalam adat dan prestise — semuanya membentuk gambaran bahwa mutisalah bukan sekadar manik-manik, melainkan saksi dari jaringan Laut Jawa, Selat Malaka, dan laut-laut timur Nusantara.
Last modified: September 13, 2025