Pengantar: Ornamen sebagai “bahasa visual” perahu

Jika badan perahu adalah “tubuh kerja”, maka ornamen perahu Sumatra adalah “bahasa visualnya”: penanda identitas kampung, simbol perlindungan, hingga pernyataan status sosial saat perahu tampil di sungai, muara, atau laut. Di Riau, misalnya, jalur Pacu Jalur dihias dengan ornamen mencolok seperti kepala naga, payung kuning, dan umbul-umbul sebagai simbol identitas dan kekuatan.

Namun membaca ornamen tidak cukup hanya menyebut “indah” atau “unik”. Anda perlu membacanya seperti kurator membaca koleksi: (1) bentuk/motif, (2) warna, (3) teknik, (4) penempatan. Empat kunci ini akan membuat narasi situs museum lebih tajam—dan jauh dari kesan “flat”.

Mengapa ornamen selalu ditempatkan di titik-titik tertentu

Pada banyak tradisi bahari di kawasan Melayu–Sumatra, bagian depan perahu diperlakukan sebagai “wajah” dan “pembuka jalan”. Itu sebabnya hiasan haluan sering berbentuk figur pelindung: naga, makara, atau bentuk yang dianggap “menakutkan” bagi gangguan. Di tradisi perahu Melayu, ada kepala perahu berbentuk kepala naga yang dipakai sebagai hiasan haluan perahu diraja (akhir abad ke-19) dan diukir dengan motif sulur kacang/awan larat.

Sementara itu, pada perahu nelayan tradisi Melayu, dikenal pula hiasan “bangau” (sail guard) yang sekaligus berfungsi praktis (penopang) dan dipercaya terkait “semangat” perahu.
Kerangka berpikir ini membantu kita membaca ornamen perahu Sumatra bukan sekadar dekorasi, tetapi sebagai perpaduan fungsi, estetika, dan keyakinan.

Peta penempatan: haluan, badan, dek, buritan

Agar pembaca awam cepat paham, jelaskan ornamen berdasarkan “zona”:

  1. Haluan (depan): figur pelindung (kepala naga, selembayung/mahkota, bentuk hewan), atau komponen simbolik yang paling mudah dilihat dari jauh.
  2. Badan lambung (sisi): motif berulang (flora, geometris, spiral) untuk identitas visual dan ritme estetika.
  3. Dek/atasan (superstructure): atribut seremonial (payung, umbul-umbul) pada konteks festival/ritual.
  4. Buritan & kemudi: penutup narasi—sering jadi area “penegasan” (simbol kampung, ornamen penguat).

Dalam konteks Pacu Jalur, misalnya, media resmi Riau menjelaskan selembayung sebagai “mahkota” jalur yang diletakkan di haluan dan kemudi.
Kerangka zona ini membuat pembahasan ornamen perahu Sumatra lebih rapi dan mudah dipetakan dalam foto/infografik.

Makna motif: dari naga sampai spiral sungai

1) Figur pelindung: naga, lasara, makara

  • Naga sering tampil sebagai figur haluan (protektif sekaligus simbol kuasa). Pada perahu Melayu diraja, kepala perahu berbentuk naga dijadikan adornmen haluan. National Museum
  • Di Nias, istilah kuno untuk perahu disebut lasara, dan konsep perahu bahkan memengaruhi arsitektur (omo nifolasara). museum-nias.org
    Ada juga sumber Kemendikbud yang menyebut perahu Nias kuno dikenal memiliki “kepala naga”, serta keterkaitan konsep perahu dengan rumah. rumahpusbin.kemdikbud.go.id
  • Dalam tradisi lisan/mitologi, lasara dipaknai simbolik sebagai “wahana” menuju arah/tujuan. ResearchGate

Ini penting: ketika Anda menulis, jangan berhenti pada “ornamen berbentuk naga”, tetapi jelaskan mengapa naga ditempatkan di haluan: ia bekerja sebagai ikon pelindung, pembuka jalan, dan penanda wibawa.

2) Motif flora–fauna lokal: ikan, daun, sulur

Pada artikel internal Museumbahari tentang Lancang, disebutkan ornamen ukir menghiasi haluan, buritan, dan dek; serta makna motif seperti spiral (aliran/perubahan), ikan (rezeki/kelimpahan), dan geometris (keseimbangan). museumbahari.org
Bagian ini bisa Anda jadikan jembatan untuk menjelaskan ornamen perahu Sumatra sebagai “peta nilai” komunitas pesisir: rezeki, harmoni, dan hubungan manusia–alam.

3) Warna sebagai kode (bukan sekadar cat)

Pada tradisi Batak Toba, seni ukir gorga sangat terkait dengan warna-warna khas dan maknanya. Salah satu rujukan jurnal menyebut makna konotatif warna gorga: merah (narara) dihubungkan dengan pengetahuan/kecerdasan yang berbuah kebijaksanaan.
Sumber lain juga membahas makna warna merah–putih–hitam dalam konteks gorga (dengan penekanan makna berbeda antar penulis).

Baca Juga:
7 Misteri Hebat Legenda Maritim Sumatera: Perahu Tradisional yang Sarat Makna dan Mitos

Teknik: bagaimana ornamen dibuat dan “ditayangkan”

Ada tiga teknik besar yang lazim:

1) Ukir/pahat kayu (relief & tiga dimensi)

  • Kepala perahu naga pada koleksi museum di Malaysia dibuat dari kayu nangka dan diukir motif sulur kacang/awan larat.
  • Pada perahu Lancang, Museumbahari menyinggung tradisi sambungan tanpa paku serta ornamen ukir pada haluan/buritan/dek. museumbahari.org

Ini titik penting: ukiran bukan tempelan, melainkan bagian dari keterampilan pertukangan (komposisi serat kayu, ketahanan cuaca, dan keterbacaan dari jauh).

2) Cat & pewarnaan (kontras untuk jarak pandang)

Pada tradisi gorga, proses pembuatan membutuhkan ketelitian/keterampilan dan memanfaatkan pewarnaan khas.
Dalam konteks perahu festival, kontras warna juga berfungsi agar identitas terlihat jelas dari tepi sungai.

3) Atribut tekstil & “ornamen bergerak”

Pacu Jalur menghias jalur dengan ornamen seperti kepala naga, payung kuning, dan umbul-umbul.
Elemen ini penting karena bukan permanen seperti ukir; ia “dipentaskan” saat peristiwa sosial tertentu.

Dengan demikian, saat membahas ornamen perahu Sumatra, bedakan mana ornamen permanen (ukir/cat) dan mana ornamen event-based (payung, kain, umbul-umbul).

Penutup

Pada akhirnya, membaca ornamen perahu Sumatra adalah latihan membaca identitas: siapa pemiliknya, di mana ia beroperasi (sungai/danau/laut), bagaimana komunitas memandang risiko dan perlindungan, serta kapan ornamen itu “dipentaskan” (harian vs ritual/festival). Jika Anda konsisten memakai kerangka motif–warna–teknik–penempatan, setiap artikel turunan akan lebih tajam, mudah diindeks mesin pencari, dan terasa layak sebagai referensi museum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close Search Window