Di jantung kota Palembang, Sumatra Selatan, berdiri sebuah struktur kokoh di tepi Sungai Musi yang telah menjadi saksi bisu sejarah panjang peradaban maritim Sumatra: Benteng Kuto Besak. Meskipun secara historis benteng ini dibangun pada abad ke-18 oleh Kesultanan Palembang Darussalam, letaknya yang strategis menunjukkan kesinambungan dari warisan pertahanan maritim sejak era Kerajaan Sriwijaya. Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam bagaimana Benteng Kuto Besak merepresentasikan jejak peradaban laut, strategi militer, hingga budaya yang tumbuh di sepanjang aliran Sungai Musi.
Awal Mula dan Letak Strategis
Benteng Kuto Besak dibangun pada tahun 1780 oleh Sultan Mahmud Badaruddin I. Berbeda dari kebanyakan bangunan kolonial pada masa itu, benteng ini dibangun oleh bangsawan lokal—bukan Belanda. Lokasinya sangat strategis, menghadap langsung Sungai Musi dan berdampingan dengan pelabuhan tradisional.
Namun jauh sebelum benteng ini berdiri, kawasan tersebut sudah dikenal sebagai pusat perdagangan dan kekuasaan maritim. Bahkan, dalam konteks jejak maritim Kerajaan Sriwijaya, wilayah Sungai Musi merupakan nadi utama yang menghubungkan pedalaman Sumatra dengan jalur internasional di Selat Malaka.
Sungai Musi dan Peranannya dalam Pertahanan

Sungai Musi bukan hanya jalur perdagangan. Dalam banyak sumber sejarah, sungai ini juga berfungsi sebagai elemen penting dalam strategi pertahanan. Sriwijaya, sebagai kerajaan maritim besar yang berpusat di Palembang, memanfaatkan sungai ini sebagai:
- Jalur logistik dan mobilisasi pasukan.
- Sumber bahan pangan dan kebutuhan kapal.
- Jalur pelarian dan evakuasi cepat ke laut lepas.
Konsep ini masih terlihat dalam pembangunan Benteng Kuto Besak. Posisi benteng yang menghadap sungai menunjukkan fungsi pertahanan ganda—baik dari serangan laut maupun serangan darat.
Struktur Arsitektur dan Filosofi Pertahanan

Benteng Kuto Besak memiliki bentuk segi empat dengan panjang lebih dari 290 meter dan lebar 180 meter. Tinggi dindingnya mencapai 9 meter, cukup untuk menghadang serangan senjata api pada zamannya. Terdapat bastion di tiap sudut benteng yang digunakan sebagai menara penjagaan dan tempat meriam.
Filosofi arsitekturnya mencerminkan pemikiran geopolitik maritim Melayu—di mana pertahanan dibangun tidak semata di darat, melainkan dalam hubungan simbiotik dengan sungai dan laut. Tidak mengherankan jika benteng ini disebut-sebut sebagai kelanjutan dari sistem pertahanan maritim Sriwijaya yang bersifat terbuka namun tangguh.
Fungsi Sosial dan Politik
Benteng Kuto Besak bukan hanya struktur militer. Pada masa Kesultanan Palembang, bangunan ini juga difungsikan sebagai pusat pemerintahan dan administrasi. Di dalam benteng terdapat kediaman sultan, tempat pertemuan dewan adat, gudang senjata, dan barak prajurit.
Ini memperkuat narasi bahwa pusat kekuasaan Palembang sejak zaman Sriwijaya hingga abad ke-18 selalu berada dekat sungai, menunjukkan betapa pentingnya kedekatan dengan air sebagai sumber kehidupan, simbol legitimasi kekuasaan, dan alat kendali ekonomi.
Peran Benteng Kuto Besak dalam Melawan Kolonialisme
Dalam konteks sejarah modern, Benteng Kuto Besak menjadi titik pertahanan utama Kesultanan Palembang dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Pada awal abad ke-19, Belanda melancarkan serangan ke Palembang. Benteng ini berhasil menahan beberapa serangan, namun akhirnya direbut Belanda tahun 1821.
Setelah pendudukan, Belanda tidak menghancurkan benteng ini, melainkan menggunakannya sebagai kantor militer dan pusat logistik. Ini membuktikan betapa penting dan strategisnya posisi benteng ini, bahkan di mata penjajah.
Kuto Besak dalam Budaya dan Pariwisata Modern

Hingga saat ini, Benteng Kuto Besak menjadi landmark bersejarah utama kota Palembang. Meski tidak seluruhnya dibuka untuk umum karena digunakan militer, bagian luarnya menjadi pusat aktivitas budaya:
- Festival Sungai Musi, perayaan tahunan budaya maritim Palembang.
- Lomba perahu bidar yang dimulai dari depan benteng.
- Spot wisata malam, karena letaknya dekat dengan Jembatan Ampera dan ikon wisata lainnya.
Banyak turis mengabadikan kunjungan mereka ke Palembang dengan latar belakang Kuto Besak, menjadikan tempat ini bukan hanya situs sejarah, tapi juga bagian dari narasi visual budaya kota.
Warisan Maritim yang Terus Hidup
Benteng Kuto Besak mewakili warisan arsitektur dan strategi pertahanan maritim yang berakar kuat dari Sriwijaya. Dalam banyak aspek, nilai-nilai kultural dari era Sriwijaya seperti:
- keterikatan pada sungai dan laut,
- pentingnya perdagangan internasional,
- dan strategi pertahanan berbasis geografis
masih terlihat jelas dalam desain, fungsi, dan posisi benteng ini.
Konservasi dan Tantangan Modern
Sayangnya, tidak semua bagian benteng terawat dengan baik. Beberapa area mengalami keretakan dan pelapukan akibat usia dan faktor cuaca. Pemerintah daerah dan Balai Pelestarian Cagar Budaya telah mulai mengupayakan konservasi dengan dana terbatas.
Tantangan utama konservasi Benteng Kuto Besak meliputi:
- tekanan pembangunan modern di sekitarnya,
- kurangnya edukasi sejarah kepada generasi muda,
- dan keterbatasan akses publik ke bagian dalam benteng.
Namun demikian, upaya pelestarian tetap berjalan. Beberapa kegiatan edukatif mulai diadakan oleh komunitas sejarah dan kampus di Palembang, menjadikan benteng ini tidak hanya situs mati, tetapi ruang hidup untuk belajar sejarah maritim.
Benteng Kuto Besak bukan sekadar struktur kolonial atau bangunan kuno. Ia adalah titik temu antara masa lalu dan masa kini, antara darat dan laut, antara strategi dan spiritualitas. Dalam jejak panjang sejarah maritim Sumatra, benteng ini menjadi simbol dari bagaimana peradaban lokal memahami pentingnya laut sebagai benteng alami sekaligus sumber kemakmuran.
Melalui narasi Benteng Kuto Besak, kita dapat menelusuri kembali jejak maritim Kerajaan Sriwijaya, warisan Kesultanan Palembang, hingga dinamika kolonialisme di kawasan ini. Semuanya berpangkal pada pemahaman bahwa laut bukan batas, melainkan pintu.
Last modified: Juni 28, 2025
[mc4wp_form id="5485"]